Selasa, 14 Juli 2009

Filsafat Modren : Positivisme logis

PENDAHULUAN

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.


POSITIVISME LOGIS

A. Pengertian Positivisme

Positivisme Logis merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

B. Sejarah Muncul

Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik. Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.

Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun engalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.

Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.

C. Ajaran Pokok Positivsme logis

pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk mentukan kebenarannya ( atau kesalahannya ) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti : “ Yang tiada itu sendiri tiada” ( The nothing it self nothing- Das Nichts selbst nichest, Martin Heidegger ), “ yang mutlak mengatasi Waktu”, “ allah adalah Sempurna “, ada murni tidak mempunyai ciri “, pernyataan-pernyataan metafisik adalah semu. Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak bermakna.

Auguste Comte ( 1798-1857 ) ia memiliki peranan yang sangat penting dalam aliran ini. Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah.

Upaya-upaya kaum positivis untuk mentransformasikan positivisme menjadi semacam “agama baru”,cendrung mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Tetapi tekanan pada fakta-fakta, indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,dan upya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta,diterima dan de ngan cara berbeda-beda diperluas oleh J.S Mill ( 1806-1873 ).E.Mach (1838-1916 ), K.Pierson ( 1857-1936 ) dan P.Brdgeman ( 1882-1961 ).


PENUTUP

KESIMPULAN

Positivisme logis merupkan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut Pistivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentng bahasa ilmu. Fungsi analisis ini,disatu pihak, mengurangi “ metafisika” (yaitu,filsafat dalam arti tradisional) dan di lain pihak meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus Lorenz, Kamus Filsafat penerbit Gramedia Pustaka Utama

http://haqiqie.wordpress.com/2007/02/27/positivis-logis/

http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis

Tidak ada komentar: